Malang | Mitratoday.com – Aksi mogok yang di lakukan ratusan sopir truk pengangkut tebu , kuli angkut dan petani tebu di jalan raya kebonagung kabupaten Malang tadi pagi selain di picu oleh rendahnya HET tebu sebesar Rp 11.500 , juga di karenakan pemerintah RI saat ini masih terus melakukan impor gula dari beberapa negara untuk mencukupi kebutuhan pasar gula di indonesia.
Hal ini di sampaikan ketua DPD APTRI Dwi Irianto. Ia menjelaskan saat ini jumlah impor gula meningkat dibandingkan tahun 2016 yakni sekitar 2,3%.
Tahun 2016 kemarin jumlah impor gula negara kita mencapai 6,7 juta ton dan saat ini terus meningkat,”ujar Dwi. Hal ini tambah Dwi, dapat membunuh keberadaan petani tebu yang ada khususnya di Kabupaten Malang yang mencapai ribuan petani tebu.
Yang membandingkan saat ini kebutuhan riel masyarakat tentang gula berkisar 2,6 juta ton pertahun, sedangkan produksi gula dari 62 pabrik yang ada diseluruh indonesia mencapai 2,4 juta ton pertahun.”Jadi kekurangannya hanya sedikit, lah kok pemerintah mengimport sebanyak itu, kan sama saja dengan membunuh keberadaan petani tebu kedepannya,” tandasnya.
Untuk itu ia meminta kepada pemerintah untuk mengubah moratorium terkait import gula ini. “Intinya kami meminta pemerintah menarik eks gula import ini dari pasaran untuk memberi kesempatan produksi gula lokal dapat masuk kepasar konsumen, seandainya tidak bisa kami meminta gula import boleh beredar dipasaran setelah seluruh pabrik gula lokal tutup giling,” tegasnya.
Ia menambahkan tanggal 28 agustus nanti dirinya bersama 150 orang perwakilan petani tebu bakal menggelar aksi damai didepan istana negara, untuk menuntut adanya perubahan terkait polemik harga gula lokal yang terus menurun.
“Nantinya kami akan usulkan 3 poin untuk dijadikan dasar pemerintah mengubah kebijakan yakni, merubah moratorium import gula, penetapan HET sebesar Rp 14.000, dan kenaikan HPP petani sebesar Rp 11.500 serta penghapusan PPN 10% secara riil berupa surat resmi dari kementrian keuangan melalui Dirjen pajak,”tutupnya. (GT)
Tahun 2016 kemarin jumlah impor gula negara kita mencapai 6,7 juta ton dan saat ini terus meningkat,”ujar Dwi. Hal ini tambah Dwi, dapat membunuh keberadaan petani tebu yang ada khususnya di Kabupaten Malang yang mencapai ribuan petani tebu.
Yang membandingkan saat ini kebutuhan riel masyarakat tentang gula berkisar 2,6 juta ton pertahun, sedangkan produksi gula dari 62 pabrik yang ada diseluruh indonesia mencapai 2,4 juta ton pertahun.”Jadi kekurangannya hanya sedikit, lah kok pemerintah mengimport sebanyak itu, kan sama saja dengan membunuh keberadaan petani tebu kedepannya,” tandasnya.
Untuk itu ia meminta kepada pemerintah untuk mengubah moratorium terkait import gula ini. “Intinya kami meminta pemerintah menarik eks gula import ini dari pasaran untuk memberi kesempatan produksi gula lokal dapat masuk kepasar konsumen, seandainya tidak bisa kami meminta gula import boleh beredar dipasaran setelah seluruh pabrik gula lokal tutup giling,” tegasnya.
Ia menambahkan tanggal 28 agustus nanti dirinya bersama 150 orang perwakilan petani tebu bakal menggelar aksi damai didepan istana negara, untuk menuntut adanya perubahan terkait polemik harga gula lokal yang terus menurun.
“Nantinya kami akan usulkan 3 poin untuk dijadikan dasar pemerintah mengubah kebijakan yakni, merubah moratorium import gula, penetapan HET sebesar Rp 14.000, dan kenaikan HPP petani sebesar Rp 11.500 serta penghapusan PPN 10% secara riil berupa surat resmi dari kementrian keuangan melalui Dirjen pajak,”tutupnya. (GT)