Penulis : Zainal Arifin Nugraha
Naskah kuno merupakan hasil kebudayaan suatu bangsa yang tidak ternilai harganya. Di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur yang ingin disampaikan oleh nenek moyang kita secara turun temurun, dari generasi ke generasi, hingga pada akhirnya nilai tersebut akan terus abadi.
Indonesia termasuk negara dengan keberadaan naskah kuno yang melimpah. Naskah-naskah tersebut sangat beragam baik dari segi bahan, bentuk, isi, bahasa atau aksara yang digunakan. Dari segi bahan yang digunakan sebagai alas tulis naskah saja, dapat ditemukan beberapa jenis, di antaranya yang terbuat dari daun lontar, kulit binatang, kulit kayu, buluh, gading, kayu, kertas dan kain.
Ilmu yang mempelajari naskah beserta seluk-beluk naskah adalah Filologi. Filologi merupakan disiplin ilmu yang mengkaji naskah berdasarkan aspek fisik dan isi naskah. Kajian terhadap isi suatu naskah disebut kritik teks (textual criticism) atau tekstologi (textology), sedangkan kajian berdasarkan bahan pada naskah disebut kodikologi (codicology).
Penelitian filologi belum dapat dilakukan bila belum mendapatkan objek riil berupa naskah. Dari segi kepemilikan, naskah kuno di Indonesia, ada yang masih menjadi koleksi milik pribadi (yang diturunkan secara turun-temurun) yang tersebar keberadaannya di masyarakat dan ada pula yang sudah dikelola dan menjadi koleksi di museum-museum dan perpustakaan.
Naskah-naskah kuno yang ada di Indonesia, berdasarkan data yang diperoleh dari buku Kodikologi Melayu di Indonesia karya Rujiati Mulyadi dan buku Memahami Naskah Ulu karya Prof. Sarwit Sarwono, keberadaannya tersebar di berbagai daerah. Di Jawa Barat, keberadaan naskah-naskah kuno tersebar, baik milik perseorangan maupun yang sudah menjadi koleksi museum. Naskah-naskah kuno yang sudah menjadi koleksi museum di antaranya terdapat di Museum Negeri Jawa Barat (Museum Sri Baduga) di Bandung, Museum Wisma Karya di Subang, Museum Cigugur di Kuningan, dan yang terakhir di daerah Sumedang tepatnya di Museum Prabu Geusan Ulun.
Di pulau Sumatera, naskah-naskah terdapat di Aceh, Batak, Minangkabau, Kerinci, Riau (termasuk Kepulauan Lingga dan Singkep), Siak, Palembang, Bengkulu, dan Lampung. Di Provinsi Bengkulu, naskah-naskah kuno disebut dengan naskah Ulu. Penamaan ini merujuk pada aksara yang digunakan pada naskah-naskah tersebut yaitu aksara Ulu. Naskah Ulu yang ditemukan di wilayah Bengkulu ditulis dalam berbagai medium seperti kulit kayu, bambu (baik gelondongan maupun keping atau bilah bambu yang disebut gelumpai), tanduk kerbau, kertas, dan kulit binatang. Di Kalimantan, naskah-naskah terdapat di Sambas, Pontianak, Banjarmasin, dan Kutai. Di Jawa, naskah-naskah terdapat di Banten, Jakarta, Pasundan, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, sepanjang pesisir Pantura (Brebes sampai Gresik), Madura, dan daerah-daerah pegunungan Jawa tengah dan Jawa Timur.
Di Sulawesi, naskah-naskah terdapat di Bugis, Makasar, Buton, dan kendari. Sedangkan di Bali, naskah masih dibuat (khususnya yang terbuat dari bahan lontar), di Nusa Tenggara Barat, naskah terdapat di Lombok dan Sumbawa Besar (Sumbawa, Dompo, dan Bima) dan di daerah kepulauan Indonesia Timur, naskah terdapat di daerah Ternate dan Maluku. Keberadaan naskah tersebut, selain ada yang masih menjadi milik pribadi, banyak pula yang telah menjadi koleksi museum. Menurut kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Muhammad Syarif Bando, ketika membuka Festival Naskah Nusantara IV, mengatakan bahwa jumlah koleksi naskah kuno di Perpusnas telah mencapai angka 11 ribu yang tertulis dalam berbagai bahasa daerah.
Pada saat ini, naskah merupakan satu dari sepuluh objek pemajuan kebudayaan Indonesia yang telah ditetapkan dalam UU Pemajuan Kebudayaan No. 5 pasal 5 tahun 2017. Oleh karena itu, sudah sepatutnya mendapatkan perhatian lebih dari berbagai pihak. Hal kecil yang dapat dilakukan oleh masyarakat umum adalah dengan melakukan inventarisasi. Cara yang temudah, bisa dengan melaporkan keberadaan naskah tersebut ke pihak yang terkait seperti dinas kebudayaan daerah, museum, atau Balai Pelestarian Kebudayaan terdekat.