Meski dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa, tapi tetap saja masih ada yang tergoda melakukan korupsi. Modusnya masih sama dari kebanyakan kasus korupsi yang terungkap, tapi dengan latar belakang yang beragam.
Kinerja bidang penindakan KPK memang tak pernah “sepi” dari pemberitaan media. Ibarat laron yang mengerubungi lampu, terungkapnya sebuah kasus korupsi, sangat menarik hati pekerja media.
Tapi, bukan berarti penanganan perkara korupsi minus tantangan. Justru di sini, corruptor fightback para koruptor langsung terasa. Mulai dari pembunuhan karakter dengan penyebaran foto asusila, terror bom di rumah penyidik hingga kriminalisasi. Di samping itu, serangan balik juga terlihat dari upaya revisi Undang-Undang KPK yang hendak ‘membonsai’ kewenangan penyadapan.
Namun begitu, tak ada tawar-menawar bagi KPK dalam menjalankan penegakan hukum. Sisi tegas penindakan harus dikedepankan demi mengemban amanah memberantas korupsi.
Itu bisa dilihat bahwa KPK masih tetap agresif menjalankan fungsi penindakan pada tahun ini dengan melakukan 87 kegiatan penyelidikan, 57 langkah penyidikan, serta 62 upaya penuntutan. Kegiatan ini menyangkut perkara baru maupun sisa penanganan tahun sebelumnya. Tahun ini perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap oleh pengadilan sebanyak 37 kasus, yang bila dijabarkan, 16 kasus berkekuatan hukum tetap di tingkat Pengadilan Negeri, 6 kasus sudah selesai banding di Pengadilan Tinggi, serta 15 putusan di tahap kasasi telah dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung.
Berkat seluruh upaya itu, sepanjang 2015 KPK dapat melaksanakan eksekusi atas 38 putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dampak positifnya, sebanyak Rp 198 miliar hasil korupsi dikembalikan ke kas negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari penanganan perkara.
Bila dilihat lebih jauh, modus kasus korupsi yang terungkap, penyuapan merupakan modus yang paling banyak dengan 38 perkara. Bahkan dalam lima tahun terakhir, modus lama ini selalu menjadi yang paling banyak terungkap.
Selain suap, modus lain yang menonjol adalah pengadaan barang/jasa sebanyak 14 perkara, penyalahgunaan anggaran sebanyak dua perkara, lalu kasus perizinan, pungutan dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), masing-masing satu perkara.
Sementara dari pelaku korupsi, KPK menangani sebanyak 19 perkara yang melibatkan anggota DPR/DPRD dan 18 perkara yang melibatkan swasta. Selain itu, tujuh perkara melibatkan pegawai negeri setingkat eselon I, II dan III; serta masing-masing empat perkara melibatkan gubernur dan walikota/bupati dan wakilnya; serta masing-masing tiga perkara, melibatkan hakim, dan kepala kementerian/lembaga.
Apabila dilihat dari sisi instansi yang terlibat tindak pidana korupsi, kementerian/lembaga menjadi yang paling banyak tersangkut kasus ditangani KPK sepanjang 2015. Ada 21 kasus melibatkan pejabat kementerian/lembaga. Selanjutnya disusul pejabat pemerintah provinsi sebanyak 18 kasus hingga akhir tahun. Di urutan berikutnya, 10 pejabat pemerintah kabupaten/kota tersangkut kasus, badan usaha milik negara/daerah lima kasus, dan terakhir tiga kasus di Dewan Perwakilan Rakyat RI.
Adapun bila ditelusuri dari sisi sebaran wilayah terjadinya korupsi, perkara yang ditangani KPK paling banyak berada di Sumatra. Ada 24 kasus tindak pidana korupsi sepanjang 2015 berlokasi di Sumatra. Baru berikutnya, di DKI Jakarta sebanyak 16 kasus. Di urutan ketiga, Papua menjadi wilayah yang ditindak KPK, dengan tujuh kasus tindak pidana korupsi tercatat sepanjang tahun. Selebihnya ada enam kasus di Pulau Jawa selain DKI Jakarta, Sulawesi tercatat dua kasus, dan di Bali terdapat dua kasus.
Selain menuntut terdakwa korupsi dengan hukuman berat, strategi lainnya di bidang penindakan, dengan operasi tangkap tangan (OTT). Upaya itu terus dioptimalkan di tengah keterbatasan jumlah penyidik yang dimiliki. Saat ini, dari 1.141 pegawai, KPK hanya memiliki 118 penyelidik, 91 penyidik, dan 88 penuntut umum.
Total, pada 2015 KPK melakukan sebanyak lima kali tangkap tangan. Rangkaian OTT ini dimulai pada 9 April 2015, saat penyidik KPK menangkap tangan anggota DPR periode 2014-2019 berinisial A dan seorang saksi AK, di sebuah hotel di Sanur, Bali. Dari tangan A ditemukan barang berupa uang senilai SGD 44 ribu dan rupiah senilai Rp 55.8 juta. Setelah penangkapan keduanya, penyidik menangkap AH di sebuah hotel di Jakarta Selatan.
Selanjutnya, pada 19 Juni 2015, KPK menangkap tangan Ketua dan Anggota Komisi III DPRD Musi Banyuasin, BK dan AM ketika menerima uang dari Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah SF di kediaman BK di Kel. Sanjaya, Palembang. KPK menyita uang Rp 2,56 miliar yang diduga sebagai suap untuk mengubah Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Musi Banyuasin TA 2015.
Sebulan kemudian, KPK menangkap tangan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, TIP, hakim AF, hakim DG, panitera SF, dan pengacara YGB pada 9 Juli 2015. Dalam operasi tersebut ditemukan barang bukti uang USD 10 ribu dan SGD 5 ribu.
KPK kembali melakukan OTT terhadap anggota Komisi VII DPR berinisial DYL, bersama Staf Ahli DPR, BWH, di Bandara Soekarno Hatta pada 20 Oktober 2015. Sejam sebelumnya, penyidik KPK menangkap IR (Kepala Dinas ESDM Kabupaten Deiyai Provinsi Papua), SET (swasta), dan RB (asisten pribadi DYL) di Jakarta Utara. Dari lokasi, KPK mendapatkan SGD 177.7 ribu dolar. Ini terkait usulan penganggaran proyek pembangunan infrastruktur energi baru dan terbarukan TA 2016 untuk Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua.
Sebagai pamungkas, penyidik menangkap anggota DPRD Banten, berinisial SMH dan TSS serta RT, Direktur PT. BDG pada 1 Desember 2015 di Provinsi Banten.
Ketiganya ditangkap sesaat setelah diduga terjadi penyerahan uang. Dari tangan SMH dan TSS ditemukan barang berupa uang di dalam amplop coklat dalam pecahan dolar Amerika senilai USD 11 ribu dan Rp 60 juta. Ini terkait pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2016.
Dari lima OTT yang dilakukan sepanjang tahun, semuanya terkait unsur suap untuk mempengaruhi kebijakan penyelenggara negara demi keuntungan segelintir orang.
Tantangan lain sepanjang tahun ini adalah gelombang praperadilan oleh tersangka kasus korupsi yang ditangani KPK. Sepanjang tahun, ada 26 permohonan praperadilan dari tersangka korupsi. Pengajuan itu, tak lepas dari Putusan MK No.21/PUU-XII/2015 tanggal 28 April 2015 yang memperluas objek praperadilan di luar ketentuan Pasal 77 KUHAP, yaitu dengan memasukkan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Ini menjadi momentum terbukanya keran praperadilan oleh para tersangka korupsi yang ditangani tidak saja oleh KPK, tetapi juga oleh aparat penegak hukum lain. Sumber : acch.kpk.go.id