Oleh : Bayu Candra Winata, MP
Rasulullah Muhammad SAW bersabda “ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka seluruh tubuh juga baik. Jika segumpal daging itu rusak, maka seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati“. (HR Muslim).
Sabda sang Nabi tersebut nampaknya menemukan relevansinya pada masa kritis saat ini ketika kita mencermati perkembangan kepemimpinan para pemimpin dan pejabat bangsa Indonesia, baik level daerah maupun nasional. Meski tentu akan ada yang mendebat bahwa ada perbedaan antara pemimpin dan pejabat tentang makna dari dua hal tersebut, namun setidaknya mereka sama-sama memiliki persamaan dalam hal kuasa, kewenangan atau pengaruh.
Mencermati praktik kepemimpinan para pemimpin hari ini tentu membuat sesak dada, mengucurkan air mata, juga pikiran yang tak habis pikir. Kita disuguhkan dengan teladan korupsi, tindak asusila dan amoral, suap jaksa, dan sederet perilaku negatif lainnya. Tanpa kita menafikkan adanya pemimpin yang masih bersih dan baik di negeri ini. Namun, jumlahnya yang tak banyak tertutup oleh praktik kepemimpinan yang tak layak.
Perilaku korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) tentu sangat merugikan banyak pihak. Tak hanya merusak pertumbuhan ekonomi negara, namun juga mengancam program kesejahteraan masyarakat, pembangunan berbagai sektor, bahkan merampas akses kebutuhan dasar warga negara dan pemenuhan terhadap HAM. Laporan Indonesian Corruption Watch (ICW) pada Hasil Pemantauan Tren Penindakan Kasus Korupsi Semester 1 2021 menunjukkan bahwa kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 26,83 triliun.
Jumlah ini meningkat 47,63% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 18,17 triliun. Lebih miris lagi, sektor pendidikan yang seharusnya menghadirkan pendidikan berkualitas agar lahir para SDM Unggul Indonesia Maju tak luput dari kepungan korupsi. Menurut laporan ICW, pada kurun waktu Januari 2016 hingga September 2021 terdapat 240 kasus korupsi yang ditindak Aparat Penegak Hukum. Di situasi pandemi Covid-19 pun korupsi tetap terjadi. Setidaknya 4 dari 12 kasus korupsi pendidikan yang terjadi pada 2020-2021 terkait dengan penanganan Covid-19. Sungguh memprihatinkan dan menyesakkan nurani kesadaran kita.
Mencermati praktik salah kaprah yg demikian, tentu kita patut berpikir, bahwa krisis akhlak telah mencengkeram kepemimpinan dari berbagai level. Dan akhlak hanyalah perbuatan yang tampak di permukaan. Ruang realita itulah yang bisa kita hukumi. Namun, jika ditelisik lebih dalam semuanya bermuara dari hati yang rusak, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw di atas.
Senada dengan hal tersebut, Barry Z. Posner juga berpendapat kepemimpinan dan kredibilitas tergantung pada hati, bukan hanya otak. Di sinilah peliknya, urusan hati adalah sesuatu yang tak tampak di permukaan, dan kita tidak bisa menghukuminya. Dan di ruang itulah motif tumbuh berkembang. Tak mudah memang untuk mengelola motif dari para pemimpin.
Oleh karena itu, setiap pemimpin perlu menguatkan hubungan mendalam antara ruang hatinya dengan Allah Swt, dimulai dari kemampuan jiwa mengontrol dan mengelola motif-motif yang keluar darinya. Karena motif tersebutlah yang menjadi dasar (titik tolak) bagi seluruh perbuatan kita yang tampak di permukaan. Dan itu perlu kesadaran nurani secara personal.
Tentang motif, Rasulullah Muhammad Saw mengingatkan kita, diriwayatkan dari Umar, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan” (HR. Bukhari). Meskipun konteks historis munculnya hadits tersebut terkait peristiwa hijrah, namun peringatannya juga ditujukan untuk keseluruhan tindakan.
Oleh karena itu, menjadi sebuah keharusan bagi pemimpin untuk mampu mengontrol, mengendalikan, dan mengarahkan setiap motifnya hanya kepada Allah Swt, bukan kepada lainnya. Pada ruang ini kita berbicara dan menegaskan untuk meluruskan setiap motif yang lahir dari relung jiwa kita. Dan ini merupakan syarat diterimanya amal oleh Allah Swt, baik amal yang tampak di permukaan maupun tindakan yang tidak tampak. Urusan motif ini merupakan pertautan langsung antara diri kita dengan Allah Swt.
Ulama menasehatkan bahwa upaya meluruskan motif, tidak hanya dilakukan ketika permulaan amal, namun juga ketika sedang melakukan amal, dan setelah melakukan amal. Artinya, di setiap tahap tindakan itu perlu dilakukan pemurnian motif. Jangan sampai, kita sudah berpeluh lelah melakukan tindakan kebaikan, namun tak berbuah pahala, apalagi ridho Allah Swt. Tindakan-tindakan yang dilakukan seperti fatamorgana. Atau seperti sebutir tanah yang menempel di atas batu licin, dan tertimpa oleh air hujan, hilang tak bersisa.
Sia-sia belaka tindakannya. Hanya lelah semata. Maka, mari kita senantiasa menjernihkan motif jiwa kita hanya karena Allah Swt. Terlebih untuk setiap tindakan kebaikan, kebijakan kepemimpinan yang digulirkan. Jernih sejak permulaan, pelaksanaan, hingga kesudahannya menjadi sebuah keharusan yang perlu diikhtiarkan. Semoga selamat hingga melintas batas kehidupan dunia!