Lhokseumawe,Mitratoday.com-Ketika kondisi negara yang kian memburuk, dari segi sosial, ekonomi, politik dan budaya, tentu menjadi sorotan bagi rakyat selaku warga negara. Hal ini juga sebagai wujud dari nasionalisme, bahwa dalam keberlangsungan hidup bernegara, ada peran aktif warga negara dalam mengkritisi, ataupun berikan solusi saat problem sedang terjadi. Maka inilah yang mendasari diperlukan nya peran aktif warga negara.
Peran aktif merupakan aktivitas warga negara untuk terlibat (berpartisipasi) serta ambil bagian dalam kehidupan bernegara, terutama dalam mempengaruhi keputusan publik (sumber : Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Penerbit Paradigma: Yogyakarta 2007)
Pada dewasa ini, di Negara Indonesia yang telah Berusia 74 tahun ini, masih terdapat kejanggalan dan permasalahan, hal ini tentu ada peran dan fungsi warganegara dalam melirik dan berperan hal ini.
Termasuk lah Mahasiswa, kaum muda yang disebut sebagai agent of change ini selalu aktif bersuara dan mengkritisi kebijakan pemerintah (Goverment) yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat luas.
Apalagi akhir akhir ini, terjadi simpang siur soal Revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang kian telah disahkan, dan juga RUU Lainnya yang akan disegerakan.
Masalah semacam inilah, yang kerap sekali di advokasi oleh para kaum intelektual itu, melalui berbagai proses salah satunya adat mahasiswa (Turun ke jalan/Demonstrasi).
Demonstrasi mahasiswa itu bukanlah semata jalan, namun pada awalnya ada tahap diplomasi yang mereka lakukan dan upaya itu tidak berhasil, dan membuatnya kecewa hingga mewajibkan dirinya turun ke jalan.
Ada beberapa point yang di suarakan oleh mahasiswa pada September 2019 kemarin, yang bahkan terjadi demonstrasi tak hanya di ibukota tapi hampir di seluruh wilayah Indonesia.
1.Mendesak penundaan dan pembahasan ulang pasal-pasal yang bermasalah dalam RUU KUHP.
2. Mendesak pemerintah dan DPR untuk merevisi UU KPK yang baru saja disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
3. Menuntut negara untuk mengusut dan mengadili elite-elite yang bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan di Indonesia.
4. Menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada pekerja.
5. Menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang merupakan bentuk penghianatan terhadap semangat reforma agraria.
6. Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
7. Mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan menghentikan penangkapan aktivis di berbagai sektor
(Sumber :https://m.merdeka.com/peristiwakenapa-mahasiswa-demo-besar-besaran-secara-serentak.html)
Itulah yang menjadi alasan mahasiswa untuk turun secara besar-besaran karena isu yang terlalu dianggap mereka krusial.
Tapi apa jadi nya saat demonstrasi yang jelas di persilahkan oleh konstitusi, malah jadi bentrok dengan aparat kepolisian, bahkan yang lebih sadisnya ada beberapa mahasiswa dipukul dan dihalau paksa oleh aparat, bahkan ada yang terkena luka tembak hingga meninggal dunia, sungguh memprihatinkan bukan?.
Nasib mahasiswa, antara perjuangan dan pembantaian, tak ubahnya bagai anak diluar nikah (akrab disapa anak Haram), yang selalu tak dianggap dan di kerdilkan oleh ayah biologis nya, bahkan tak jarang ada ayah biologis nya lari begitu saja meninggalkan si anak.
Apakah demikian posisi mahasiswa saat ini? Sudah dianggap bagai anak Haram yang harus dijauhkan?, untuk menjawab hal itu tentu realitas lah yang bisa menjawab, bagaimana perlakuan pemerintah selalu ayah dari rakyat dan juga mahasiswa, yang harus nya membimbing, bukannya malah membingungkan.
Kondisi mahasiswa saat ini pun sudah seperti buih ditengah lautan, banyak, namun dihempas ke tepi (tak terlalu diperdengarkan), yang mana desakan mayoritas mahasiswa agar presiden segera menerbitkan Perpu KPK, namun sampai sekarang Perpu juga belum diterbitkan.
Dalam Pasal 22 ayat(1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”):
“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”
Penetapan PERPU yang dilakukan oleh Presiden ini juga tertulis dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”) yang berbunyi:
“Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”
Sekarang masyarakat juga sudah mendesak, dan memaksa, yang bahkan KPK sendiri pun pada awalnya tak menyetujui adanya revisi UU KPK, hal ini sudah bisa menjadi alasan presiden untuk menerbitkan Perpu, sekarang saat konstitusi sudah membolehkan, maka kembali kepada ‘Hati nurani’.
Mahasiswa tetaplah mahasiswa, sebagai kaum intelektual yang telah menghadiahi rakyat Indonesia Reformasi, yang berhasil meruntuhkan rezim Orde Baru.
Jangan sampai Pahlawan muda satu ini, disudutkan dibantai, bahkan diperlakukan layaknya anak Haram yang tak diakui oleh ayah biologis, sedang kontribusi nya terhadap bangsa sudah begitu banyak.
“konsekuensi Logis dari Insan akademis adalah melawan segala bentuk penyimpanan kebijakan penguasa”
Ditulis oleh : Arwan Syahputra (Mahasiswa Tata Negara Unimal)