Oleh : Arwan Syahputra Mahasiswa Hukum, Unimal
Mitratoday.com-Perempuan, menjadi topik yang begitu seksi pasca hari perempuan internasional 08 maret 2020 lalu.
Pada 2020 ini tema yang diangkat sebagai isu Hari Perempuan Internasional adalah #EachforEqual. Pada situs resminya International Women’s Day mengungkapkan alasan kenapa #EachforEqual menjadi isu yang kembali dibahas di 2020. ( Dikutip dalam www.Detik.com ,Eny Kartikawati – Wolipop Minggu, diakses pada Rabu, 11 maret 2020) .
Moment hari perempuan kemarin, jadi refleksi bahwa perempuan perlu mengambil terobosan baru dalam memperjuangkan kesetaraan gender, karena di dalam sistem patriarki, perempuan bahkan nyaris mengikuti kemauan laki-laki, bukan karena populasi perempuan rendah, namun sistem dimana kekuasaan laki-laki lebih di agungkan dibanding perempuan.
Patriarki itu sendiri, adalah sebuah sistem yang menganggap kaum laki-laki ditakdirkan untuk mengatur perempuan. Hal ini berlaku kokoh di seluruh dunia .(Fromm dalam Adji dkk 2009: 9).
Padahal, dalam perspektif agama sekalipun gender itu sama di hadapan Tuhan, Laki-laki bahkan perempuan, yang semua bisa berkarya sesuai dengan konstitusi Tuhan itu sendiri.
Dewasa ini, kehadiran perempuan pun tak jarang mendapat uap-uap obrol lelaki, lewat bual mesra ber-embel romantis nya, tak jarang perempuan terhipnotis bahkan masuk dalam buaian harapan.
Bahkan, ternyata ada 58% wanita yang mengaku menjadi korban si pemberi harapan palsu. (www.detik.com, Survei: 58% Wanita Jadi Korban ‘Si Pemberi Harapan Palsu’ – Wolipop, diakses pada Rabu, 11 maret 2020), hal. Ini bukan soal perasa, atau terlalu baperan nya perempuan, tapi sebagai pro feminisme, penulis beranggapan hal itu disebabkan karena a-quo saat ini, karena pada setiap sistem pun, semua di dominasi oleh lekaki, dan keterwakilan perempuan pun masih minim, hingga minder nya perempuan untuk mendeklarasikan bahkan memilih pasangan.
Dalam kehidupan bernegara, lelaki dan perempuan punya hak yang sama selaku warganegara, bahkan dalam penggunaan hak pilih, tidak adanya perbedaan dan diskriminasi.
Tapi dalam persoalan rasa, justru berbanding terbalik, perempuan yang terlalu menjaga ke perempuanannya, sampai salah kaprah hingga selalu bersembunyi dibalik penantian, maka oleh karena nya pun tak jarang lelaki datang menghampiri penantiannya, membentang peluang untuk perempuan dan masuk dalam lingkaran harapan itu sendiri.
Untuk kembali kepada fitrah, perempuan perlu menunjukkan eksistensinya sendiri, merangkai cara, membuat terobosan dan membuktikan bahwa perempuan hari ini bukan objek dari harapan fiktif.
Kesadaran gender harus di upayakan, dan salah satu satu yang terkenal dalam konteks hubungan demokrasi dan feminisme adalah “democracy without women is not democracy”, artinya demokrasi tanpa wanita adalah bukan demokrasi. (Dikutip dari, Drs Dyayadi, MT, Misteri Penciptaan Hawa Hal 103, Buka juga M.Alfan Alfian M, Jenderisasi Demokrasi Kompas, 14 Januari 2020) .
Pada intinya, lelaki pun harus demokratis merelakan perempuan menggunakan hak nya, termasuk soal pilih pasangan agar terhindar dari buaian harapan.
Isu PHP saat ini kerap sekali dibahas, bahkan tak jarang ada bahasa yang sudah trend dikalangan perempuan “semua lelaki itu sama aja”, ini adalah bukti banyaknya perempuan menjadi korban.
Adanya capaian kedudukan yang sama antara lelaki dan perempuan, justru akan berdampak terbangunnya hubungan yang benar di cita-citakan.
Bayangkan, alangkah bahagia nya mereka yang mendapati pasangan yang sama-sama suka, dan mendapatkan sistem pembuktian (alat-alat bukti), dan keduanya akan harmoni dalam hubungan.
Perempuan hari ini perlu serius, boleh saja menjaga kehormatan nya selaku perempuan, namun antara kehormatan dan pembiaran itu jelas berbeda, yang namanya selalu menanti, tak berani mendahulukan, justru berakibat perempuan menjadi membiarkan dirinya kembali akan dihampiri harapan lekaki.
Memang, pada dasarnya rambut sama hitam, isi kepala dan perilaku manusia jelas berbeda, yang tak semua lelaki punya sikap PHP-nya, namun jika hari ini perempuan masih saja hidup dalam penantian, dihampiri tanpa bukti toh masih saja belum beralih, maka tetap saja perempuan itu jadi objek harapan.
Lelaki dan perempuan perlu hidup sebagaimana mitra, tidak ada pesuruh apalagi buruh, keduanya wajib tumbuh dengan saling berbagi dengan cinta, kasih dan sayang, dengan itu semua perempuan terus hidup dengan segala kebahagiaan, terhindar dari harapan tanpa pembuktian (PHP).