Oleh Zacky Antony
Menyaksikan final tunggal putra Badminton Indonesia Master 14 – 19 Januari 2020 lalu, telah membangkitkan gairah para pecinta bulutangkis Indonesia. Pada babak final itu, tunggal putra nomor satu Indonesia Anthony Sinisuka Ginting berhasil menekuk andalan Denmark sekaligus juara bertahan, Anders Antonsen dengan rubber game 17-21, 21-15 dan 21-9. Sempat kalah di game pertama, Ginting sukses merebut game kedua dan menunjukkan dominasinya pada game ketiga. Pada game terakhir tersebut, Antonsen yang biasanya memiliki defens kuat, dibuat tak berkutik.
Smash-smash tajam menyilang yang menjadi andalan Ginting kerap kali menghasilkan angka. Disamping kewalahan menghadapi smash Ginting, Antonsen juga beberapa kali keteteran mengantisipasi permainan net lawan. Ginting yang baru berusia 23 tahun memainkan strategi tepat dengan lebih banyak menurunkan bola. Kalah dari sisi postur, Antonsen 188 cm berbanding Ginting 175 cm, diantisipasi Ginting dengan bola drop short dan permainan netting yang sangat tipis. Sesekali dibarengi pukulan tipuan. Begitu Antonsen mengangkat bola, langsung disambut smash tajam. Permainan netting Ginting ini paling tidak disukai Chen Long.
Kemenangan Ginting atas Antonsen menjadi gelar ketiga bagi Indonesia dalam turnamen berhadiah total 400.000 US$ atau setara Rp 5,4 miliar tersebut. Dua gelar Indonesia lainnya diraih lewat ganda putra, Kevin Sanjaya/Markus Gideon usai mengalahkan senior mereka, Hendra/Ahsan straight game 21-15, 21-16. Capaian ini menjadi hattrick Kevin/Markus dalam turnamen Indonesia Master setelah menjadi menjejaki podium tertinggi pada tahun 2018 dan 2019. Gelar juara lainnya disabet ganda putri Greysia Polli/Apriyani. Sementara dua nomor final lainnya diraih China di ganda campuran dan Thailand di nomor tunggal putri.
Raihan tiga gelar pada ajang Indonesia Master menjadi kado manis awal tahun 2020. Bukan hanya bagi PBSI, tapi juga bagi pecinta bulutangkis tanah air. Khususnya di sektor tunggal putra. Maklum setelah era Taufik Hidayat, cukup lama tunggal putra dahaga prestasi.
Setelah Taufik pensiun tahun 2013, belum ada lagi pemain tunggal putra Indonesia yang mampu menjadi juara dunia dan juara olimpiade. Taufik menjadi pemain tunggal putra Indonesia terakhir yang menjadi juara dunia pada tahun 2005 di AS. Waktu itu Taufik mengalahkan Lin Dan di babak final. Sayang setelah itu, Taufik kesulitan mempertahankan gelarnya. Capaian terbaik Taufik berikutnya adalah melaju ke final kejuaraan dunia 2010.
Tapi sayang dia dikalahkan Chen Jin dari Tiongkok. Setelah itu, belum ada lagi tunggal putra kita yang mampu setidaknya mencapai final kejuaraan dunia.
Tiga kejuaraan dunia terakhir, gelar juara tunggal putra diraih Viktor Axelsen (2017) dari Denmark dan Kento Momota (2018 dan 2019) dari Jepang. Pada kejuaraan dunia tersebut, prestasi Ginting mentok di babak kedua. Kejuaraan dunia 2017, Ginting kalah dari Sai Praneeth dari India 21-14, 18-21 dan 19-21. Setahun berikutnya di Nanjing, Tiongkok, Ginting dikalahkan Kanta Tsuneyama (Jepang) dengan skor 17-21 dan 13-21, hasil serupa dituai Ginting pada kejuaraan dunia 2019 di Swiss, setelah lagi-lagi kalah dari Sai Praneeth 19-21, 13-21. Sai Praneeth juga mengalahkan Jonatan Christie di babak perempatfinal.
Di ajang empat tahunan Olimpiade, dahaga Indonesia di sektor tunggal putra sama panjangnya dengan kejuaraan dunia. Taufik Hidayat menjadi tunggal putra Indonesia terakhir meraih emas di ajang olimpiade. Tepatnya Olimpiade Athena 2004. Saat itu Taufik mengalahkan pemain Korsel Shon Seung Mo di babak final. Setelah itu, Indonesia gagal. Emas tunggal putra di tiga olimpiade berikutnya dikuasai Tiongkok masing-masing Lin Dan di Olimpiade Beijing 2008 dan London 2012. Sedangkan emas tunggal putra Olimpiade Brasil 2016 diraih Chen Long yang selalu kalah melawan Ginting.
Melihat grafik permainan Ginting, harapan Indonesia menghapus dahaga emas Olimpiade bisa terbalas tahun ini di Olimpiade Tokyo 2020. Selain Ginting, harapan yang sama juga tersemat di pundak Jonatan Christie. Hampir dipastikan, Ginting dan Jojo akan menjadi wakil Indonesia di Olimpiade mendatang. Kecuali faktor cidera yang membuka peluang salah satu diantara mereka diganti pemain lain yang secara peringkat berada di bawah mereka. Seperti Tommy Sugiarto, Shesar Hiren Rusthavito atau Firman Abdul Kholik. Karena itu, Jojo dan Ginting memikul tanggungjawab besar mengembalikan emas olimpiade untuk merah putih.
Sejauh ini prestasi terbaik Ginting adalah menjadi juara BWF World Tour Super 1000 China Open 2018. Di turnamen level atas tersebut, Ginting mengaum dengan melumat habis empat peraih gelar juara dunia yaitu Lin Dan, Chen Long, Viktor Axelsen dan Kento Momotan. Ditambah mengalahkan Chou Tien Chen. Seperti diketahui, hanya ada 3 turnamen level World Tour Super 1000 yaitu China Open, Indonesia Open dan All England. Karenanya gelar Ginting di China sangat prestisius. Sudah lama sekali pemain tunggal Indonesia tidak juara di kandang Naga setelah Alan Budi Kusuma tahun 1991.
Di jajaran elit tunggal putra dunia saat ini, tidak ada pemain yang belum pernah dikalahkan Ginting. Saingan terberat datang dari tunggal terbaik dunia saat ini, Kento Momota (juara dunia 2018, 2019). Ada duo Denmark, Viktor Axelsen (juara dunia 2017) dan Anders Antonsen. Selain itu, pesaing lain tidak bisa dipandang remeh seperti Chou Tien Chen dari Taiwan, Sai Praneeth dan Kidambi Srikant dari India, Ng Ka Long Angus dan Lee Cheuk Yiu asal Hongkong.
Serta trio China yaitu Lin Dan (juara dunia 2006, 2007, 2009, 2011, 2013), Chen Long (juara dunia 2014, 2015) dan Shi Yuqi. Dari tiga single tersebut, penampilan Lin Dan sudah jauh menurun. Dalam beberapa kali even super series selama 2019, Lin Dan lebih sering kalah di babak awal. Yang patut diwaspadai justru Shi Yuqi yang satu generasi dengan Ginting, sama-sama kelahiran 1996. Sejak pulih dari cidera, penampilan Shi Yuqi mulai membaik kendati belum kembali pada top performance seperti saat dia menjadi juara All England 2018 dengan mengalahkan seniornya Lin Dan di babak final.
Melihat peta tunggal putra saat ini, Kento Momota paling diunggulkan menjadi juara pada Olimpiade 2020. Selain memperlihatkan penampilan yang stabil, faktor Jepang selaku tuan rumah Olimpiade menjadi keuntungan tersendiri bagi pemain berusia 25 tahun tersebut. Momota tentu tak ingin kehilangan muka di kandang sendiri.
Secara head to head, Ginting masih sering kalah melawan Momota. Dari 14 kali pertemuan, Ginting menang 4 kali, Momota menang 10 kali. Namun dari segi permainan, keduanya seimbang. Kemenangan akan ditentukan siapa yang lebih siap. Di atas lapangan semua bisa terjadi. Seandainya bertemu lagi dengan pemain Jepang tersebut di Olimpiade Tokyo, kalau dalam kondisi top form, peluang Ginting menang cukup besar. Kekalahan-kekalahan Ginting dari Momota rata-rata rubber game dan dipengaruhi faktor luck.
Termasuk pertemuan terakhir Final BWF World Tour 2019. Setelah berbagi skor 1-1 pada dua game pertama, Ginting sempat unggul 12-7 pada game ketiga. Sayang cedera tangan kaki membuatnya harus melepas game ketiga dengan 14-21.
Pemain lain yang berpotensi menyulitkan Ginting adalah Chou Tien Chen asal Taiwan. Secara head to head, Ginting masih unggul 6-4 atas Chou Tien. Tapi pemain yang satu ini tidak boleh dipandang remeh. Chou patut diwaspadai. Ingat, pada pertemuan terakhir di BWF World Tour Final Desember 2019, Ginting kalah.
Sedangkan melawan juara Olimpiade 2016, Chen Long, Ginting lebih mendominasi kemenangan. Dari 12 kali pertemuan, Ginting 8 kali menang, sedangkan Chen Long meraih 4 kemenangan. Begitu juga dengan Viktor Axelsen dan Anders Antonsen, Ginting unggul secara head to head. Dengan Antonsen, Ginting selalu menang dalam tiga kali pertemuan. Sedangkan dengan Axelsen, Ginting unggul 3-2. Kemenangan terakhir Ginting atas Axelsen terjadi pada ajang Indonesia Master 2020. Saat itu, Ginting menang dua game langsung 22-20 dan 21-11.
Akankah dahaga emas tunggal putra akan terhapus di Olimpiade Tokyo 24 Juli – 9 Agustus 2020 mendatang? Kita tunggu gairah Ginting berikutnya.
————————————————————————————————————————————
Penulis adalah wartawan senior yang juga Ketua PWI Provinsi Bengkulu