
Jember,mitratoday.com-Rencana peleburan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) ke dalam Dinas Sosial (Dinsos) dan Dinas Kesehatan (Dinkes), mendapat sorotan tajam dari aktivis perempuan di Jember. Salah satu suara kritis datang dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jember.
Dewan Kelompok Kepentingan Perempuan Lajang, Janda, dan Single Parents (LJSP) KPI Jember, Alfianda Mariawati menilai, kebijakan ini berpotensi melemahkan advokasi, serta perlindungan terhadap perempuan dan anak.
Gerakan perempuan di Jember telah berlangsung sejak 1998, dimulai dari Aliansi Perempuan yang mendampingi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di era Bupati Samsul Hadi dan Wakil Bupati Bagong Sutrisnadi. Dari gerakan itu, kemudian lahir Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A), yang menjadi cikal bakal DP3AKB.
Pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan masih minim dukungan, termasuk ketiadaan pengacara perempuan. Mendirikan lembaga khusus advokasi perempuan juga tidak mudah, karena harus memenuhi banyak persyaratan, termasuk kebutuhan akan tenaga psikolog dan mekanisme penguatan bagi korban kekerasan.
KPI sendiri hadir di Jember sejak tahun 2000. Dari berbagai gerakan dan perjuangan, akhirnya terbentuk DP3AKB, yang kemudian menjalin kerja sama dengan berbagai organisasi yang fokus pada isu pengarusutamaan gender (PUG), serta perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan.
Diskusi dan buka puasa bersama di Sekretariat Forum Wartawan Lintas Media (FWLM) Jember.
Alfianda juga menyoroti, saat ini persoalan perempuan dan anak di Jember semakin kompleks. Selain kekerasan terhadap perempuan, kasus stunting, angka kematian ibu dan bayi (AKI/AKB), hilangnya anak perempuan, HIV, pembuangan bayi, hingga baby blues juga masih tinggi.
Menurutnya, problem yang semakin beragam ini membutuhkan perhatian khusus dari dinas yang memang fokus dalam bidang tersebut. Jika DP3AKB dilebur ke dalam Dinsos dan Dinkes, ia khawatir respons dan penanganan terhadap kasus-kasus perempuan dan anak akan terganggu.
Ia menekankan, yang seharusnya dilakukan adalah memperkuat DP3AKB, bukan justru meleburkannya ke dua dinas yang memiliki tugas berbeda.
Sejauh ini, KPI Jember bersama 10 organisasi lain yang tergabung dalam Jember Organisasi Masyarakat Sipil (JOMS) telah melakukan audiensi dengan Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Jember. Mereka menyuarakan penolakan terhadap rencana peleburan DP3AKB, karena dinilai sebagai langkah mundur dalam keberpihakan terhadap perempuan.
Dalam audiensi tersebut, pemerintah daerah berdalih bahwa peleburan dilakukan karena keterbatasan anggaran. Namun, menurut Alfianda, alasan tersebut tidak masuk akal.
“Selama ini, advokasi yang kami lakukan hampir tanpa anggaran dari pemerintah. Kami bekerja secara mandiri. Baru jika benar-benar membutuhkan, kami bersinergi dengan DP3AKB, misalnya dalam menyediakan rumah aman bagi korban,” jelasnya.
Jika persoalan anggaran yang dijadikan alasan, ia menyarankan agar pemerintah lebih bijak dalam mengelola keuangan daerah, misalnya dengan meminimalisasi proyek-proyek yang merugikan atau mengurangi acara seremonial yang tidak terlalu penting.
Alfianda juga menegaskan, kondisi Jember tidak bisa disamakan dengan daerah lain yang memiliki kompleksitas masalah lebih sederhana, seperti Bondowoso. Secara geografis dan sosiologis, Jember memiliki keberagaman dan tantangan yang jauh lebih besar.
“Saya melihat ini sebagai kemunduran besar. Masak mau kembali ke era sebelum Pak Samsul (sebelum 2005)?” sindirnya.
Sebagai langkah lanjutan, KPI Jember dan JOMS telah melayangkan surat penolakan kepada Gubernur Jawa Timur. Mereka juga menyiapkan strategi advokasi lain jika berbagai upaya yang dilakukan tidak membuahkan hasil.
Meski demikian, mereka khawatir DPRD Jember akan tetap mengesahkan peleburan ini secara diam-diam melalui pembahasan Peraturan Daerah (Perda) tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK).
“Kami sedang mempertimbangkan membentuk koalisi yang lebih besar. Tapi kami ingin melihat dulu, apakah eksekutif benar-benar ngotot soal peleburan ini, dan apakah DPRD akan mengamininya. Jika DPRD mendukung, berarti mereka tidak mewakili aspirasi rakyat,” tegasnya.
Sementara itu, Dewi Aliana, anggota Kelompok Kepentingan Informal KPI Jember menambahkan, hasil analisis organisasinya menunjukkan bahwa peleburan DP3AKB akan berdampak pada beberapa aspek penting.
Salah satunya adalah pengurangan sumber daya yang berdampak pada efektivitas program pemberdayaan perempuan, seperti pelatihan kepemimpinan, pendampingan, dan advokasi.
“Berkurangnya sumber daya juga akan menghambat upaya perlindungan perempuan dari kekerasan berbasis gender, seperti KDRT hingga femisida,” ungkapnya.
Selain itu, perampingan ini juga bisa melemahkan advokasi kebijakan yang mendukung kepemimpinan perempuan serta menghilangkan fokus kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan perempuan.21/03/2025
Dampak lainnya adalah menurunnya partisipasi perempuan dalam kebijakan daerah. Jember sebelumnya telah mengadakan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) khusus untuk perempuan, anak, disabilitas, dan lansia. Namun, dengan peleburan ini, ruang partisipasi tersebut dikhawatirkan akan menyempit.
“Dinsos dan DP3AKB memiliki tugas yang berbeda. Dinsos lebih fokus pada bantuan sosial dan status kemiskinan, sementara DP3AKB lebih pada pemberdayaan, perlindungan, pencegahan, dan koordinasi dengan berbagai lembaga terkait pelaksanaan PUG serta kabupaten layak anak. (solichin )