BlitarDaerahHeadlinejawa Timur

Bocah Yatim dari Ponggok Arrazi Melawan Leukemia, DKR Desak Pemerintah Segera Bertindak

Blitar,mitratoday.com – Di balik senyumnya yang lembut, Muhammad Arka Fatih Arrazi atau yang akrab disapa Arrazi, menyimpan kisah perjuangan yang luar biasa. Bocah yatim berusia 9 tahun asal Dusun Jagoan, RT 001 RW 003, Desa Ponggok, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar ini tengah berjuang melawan penyakit leukemia yang dideritanya sejak akhir tahun lalu.

Terlahir pada 24 November 2016, Arrazi tumbuh dalam keluarga sederhana. Pada tahun 2018, saat usianya baru menginjak dua tahun, sang ayah meninggal dunia akibat penyakit tumor otak. Sejak saat itu, Arrazi hidup hanya bersama sang ibu, Yuliana Indah Lestari, yang kini berjuang sendiri membesarkannya dalam keterbatasan ekonomi. Di tengah kondisi keluarga yang tidak mampu secara finansial, musibah kembali menimpa. Sekitar pertengahan tahun 2024, setelah menjalani imunisasi rutin, kondisi kesehatan Arrazi mulai menurun drastis.

“Suhu tubuhnya naik-turun terus, tidak seperti biasanya,” kata Yuliana. “Kami pikir awalnya hanya demam biasa. Tapi lama-lama kok tidak kunjung sembuh.” Karena terus mengalami penurunan kondisi, Arrazi harus keluar-masuk rumah sakit untuk menjalani serangkaian pemeriksaan dan perawatan. Semua itu dilakukan dengan menggunakan layanan BPJS Kesehatan mandiri kelas 3, yang iurannya dibayar sendiri oleh sang ibu.

Puncaknya, pada awal Desember 2024, Arrazi dirujuk ke RSUD milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur di Malang. Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan dan perawatan intensif, hasil diagnosa menyatakan bahwa Arrazi mengidap leukemia – penyakit kanker darah yang memerlukan pengobatan jangka panjang dan biaya besar.

Sejak itu, Arrazi harus rutin menjalani kemoterapi di RSUD Saiful Anwar Malang. Ini berarti ia dan ibunya harus menempuh perjalanan dari Blitar ke Malang secara berkala. Jarak tempuh yang cukup jauh dan kondisi Arrazi yang lemah membuat proses pengobatan ini sangat berat secara fisik, emosional, dan terutama finansial bagi keluarganya.

Melihat kondisi ini, Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Kabupaten Blitar angkat bicara. Ketua DKR, Arif Witanto, menyampaikan keprihatinan mendalam atas kondisi Arrazi dan mengkritik lemahnya perhatian dari pemerintah terhadap kasus-kasus seperti ini.

“Ini bukan sekadar cerita tentang anak sakit. Ini adalah alarm bahwa sistem kita masih abai terhadap kelompok paling rentan,” kata Arif saat ditemui di Blitar, Selasa (29/4/2025).

Ia menambahkan bahwa Arrazi adalah simbol dari ribuan anak di Indonesia yang berjuang di tengah keterbatasan, tanpa perlindungan sosial yang layak.

“Arrazi ini yatim, ibunya tidak mampu, tapi masih harus membayar iuran BPJS mandiri kelas 3. Ini ironis. Sudah sakit parah, masih dibebani biaya. Di mana peran negara dalam hal ini?” tegas Arif.

Menurutnya, pemerintah harus segera turun tangan dengan langkah konkret. Pertama, dengan memberikan bantuan transportasi rutin agar Arrazi dapat menjalani kemoterapi dengan aman dan nyaman. Kedua, memastikan bahwa pelayanan medis yang diberikan di RSUD Saiful Anwar Malang benar-benar optimal, ramah anak, dan tidak diskriminatif. Dan yang paling penting, status BPJS Kesehatan Arrazi harus segera dialihkan dari mandiri ke Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang iurannya ditanggung oleh negara.

“Jangan sampai hanya karena ibunya tidak punya uang untuk membayar iuran, perawatan Arrazi menjadi terganggu. Ini menyangkut hidup anak manusia. Negara harus hadir dan melindungi,” tambah Arif.

DKR juga mendorong Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar dan Dinas Sosial untuk segera berkoordinasi dalam menyediakan solusi terpadu, termasuk pemberian bantuan langsung untuk transportasi, kebutuhan nutrisi selama pengobatan, hingga pendampingan psikologis bagi ibu dan anak.

Lebih lanjut, Arif berharap masyarakat luas juga turut bergerak. “Kalau pemerintah lambat, masyarakat jangan tinggal diam. Ini waktunya solidaritas dibangun, apalagi dalam konteks kemanusiaan,” katanya.

Kini, Arrazi terus menjalani perawatan di Malang. Di tengah rasa sakit akibat kemoterapi, ia tetap menyimpan harapan sederhana untuk sembuh dan kembali bermain seperti anak-anak lainnya. Namun, harapan itu membutuhkan lebih dari sekadar doa—ia membutuhkan aksi nyata, kepedulian, dan sistem yang berpihak pada rakyat kecil.

(Novi)

Bagikan

Rekomendasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Back to top button