Mitratoday.com-Sejumlah wartawan di Bengkulu menggelar aksi diam di tugu Thomas Paar Kota Bengkulu, Jumat (28/9/2019). Aksi yang dimotori oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) itu menyebutkan, sepanjang unjuk rasa September 2019 terdapat 14 Jurnalis mengalami kasus kekerasan fisik yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
Sejumlah jurnalis mengalami kekerasan seperti dikeroyok oleh aparat, dihalang-halangi dalam bertugas dan sejumlah kekerasan fisik lainnya. Kekerasan terjadi di Jakarta, Makassar, Jayapura dan lain-lain.
Kerentanan akan tugas jurnalis merupakan konsekuensi namun UU mengatur bahwa jurnalis wajib diberikan hak untuk melaksanakan tugasnya tanpa harus mendpatkan intimidasi, ancaman apalagi kekerasan fisik.
Indonesia pada 2018 menurut data statistik yang dikumpulkan Bidang Advokasi AJI Indonesia, mencatat setidaknya ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan itu meliputi pengusiran, kekerasan fisik, hingga pemidanaan terkait karya jurnalistik. Jumlah ini lebih banyak dari tahun lalu yang sebanyak 60 kasus dan masih tergolong di atas rata-rata. Kekerasan terhadap jurnalis paling banyak terjadi tahun 2016 lalu (sebanyak 81 kasus), paling rendah 39 kasus pada tahun 2009 lalu.
Kekerasan fisik, berupa pemukulan, penamparan dan sejenisnya, masih menjadi jenis kekerasan terbanyak pada tahun 2018 ini. Berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) selama Januari-Desember 2018, kekerasan fisik terhadap jurnalis setidaknya ada 12 kasus. Jenis kekerasan lainnya yang juga banyak adalah pengusiran atau pelarangan liputan dan ancaman teror, yang masing-masing sebanyak 11 kasus. Lainnya adalah perusakan alat dan atau hasil Liputan (10 kasus), pemidanaan (8 kasus).
Pelaku kekerasan berasal dari beragam, aparat, pejabat, swasta, militer dan lainnya.
Jangan anti kritik di Medsos
Selain itu ditetapkannya Dhandy Laksono, jurnalis karena kicauan di media sosial menjadikan fakta bahwa kebebeasan berekspresi warga masyarakat masih tabu di Indonesia.
Kita bersepakat ujaran kebencian yang mengandung SARA, fitnah dan hoaks adalah musuh bersama dan layak mendapatkan penanganan hukum. Namun sesuatu yang berisi kebenaran dapat dibuktikan kebenarannya, fakta, tidak menjadi masuk dalam kategori ujaran kebencian.
Berangkat dari itu semua AJI Kota Bengkulu meminta:
1. Mendesak kepolisian mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan anggotanya dan massa aksi di berbagai daerah.
2. Mendesak kepolisian menghentikan segala bentuk represi yang mengancam kerja jurnalis, serta mendukung kebebasan berpendapat dan berkespresi yang dilakukan masyarakat.
3. Menuntut kepolisian melucuti senjata para anggotanya yang bertugas menghalau massa. Dan menghentikan semua upaya sweeping kepada peserta aksi maupun jurnalis yang sedang bertugas.
4. Menuntut kepolisian membebaskan Dandhy Dwi Laksono dari sangkaan pasal karet UU ITE.
5. Menuntut kepolisian menghentikan penangkapan-penangkapan aktivis yang melakukan kritik dan menyuarakan kepentingan publik.
5. Tuntaskan reformasi di tubuh Polri.
6. Mengimbau masyarakat agar tidak melakukan kekerasan terhadap jurnalis saat sedang meliput. Jurnalis dalam menjalankan tugasnya dilindungi UU Pers.
7. Mengimbau perusahaan media untuk memberikan alat pelindung diri kepada jurnalis mereka yang meliput aksi massa yang berpotensi terjadi kericuhan.
8. Mendesak Dewan Pers membentuk Satgas Anti Kekerasan guna menuntaskan kasus kekerasan yang terjadi sepanjang aksi penolakan RKUHP dan Revisi UU KPK di berbagai daerah.
(**)